Langsung ke konten utama

KALI ASEM: AIR KOTOR MENJADI SAKSI, HILANGNYA RASA KEMANUSIAAN**Aliansi Mahasiswa Berantas Korupsi (AMBK) Gelar Aksi Tuntut Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi Bertanggung Jawab atas Pencemaran Kali Asem*

*

*Bekasi, [15 Oktober 2025]  — Suara mahasiswa kembali menggema di jantung Kota Bekasi terkhusus Di Dinas Lingkungn Hidup. Puluhan massa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Berantas Korupsi (AMBK)* hari ini turun ke jalan menuntut keadilan lingkungan. Aksi ini digelar sebagai bentuk protes atas *pencemaran air Kali Asem dan udara di wilayah Sumur Batu* yang kian parah akibat aktivitas industri dan lemahnya pengawasan pemerintah.

Dalam aksi bertajuk *“Kali Asem: Air Kotor Menjadi Saksi, Hilangnya Rasa Kemanusiaan”*, para mahasiswa menilai Pemerintah Kota Bekasi dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup telah *gagal menjamin hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat*, sebagaimana diatur dalam *Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009* tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Koordinator aksi, Ade Maarif Alfarizi, dalam orasinya menyatakan bahwa pencemaran Kali Asem adalah bukti nyata hilangnya tanggung jawab moral dan hukum pemerintah terhadap rakyatnya.

 “Ketika rakyat menolak pencemaran, mereka justru dituduh tidak paham tata kelola lingkungan. Padahal yang mereka pahami adalah bagaimana rasanya hidup dengan air beracun dan udara yang kotor. Ini bukan pembangunan, ini pembunuhan perlahan,” tegas Ade Maarif Alfarizi di tengah massa aksi.

AMBK menilai bahwa *pemerintah dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bekasi telah menormalisasi pencemaran* dengan dalih izin dan prosedur administrasi. Padahal, menurut mereka, “hukum tanpa nurani hanyalah administrasi dari kejahatan.”

Selain menyoroti kondisi Kali Asem, massa juga menolak rencana pemindahan *Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)* ke depan *PT. PLJB* yang berada di kawasan padat penduduk. Mereka menilai kebijakan itu hanya akan menambah sumber pencemaran baru dan membahayakan kesehatan warga.

Dalam pernyataan sikapnya, AMBK menyampaikan *lima tuntutan utama,* yakni:

1. *Mendesak Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi* untuk melakukan evaluasi total terhadap tata kelola *TPST Bantargebang dan TPA Kota Bekasi* yang telah menyebabkan pencemaran Kali Asem dan udara di wilayah Sumur Batu.
2. *Menolak rencana pemindahan IPLT* ke depan *PT. PLJB* karena berpotensi menimbulkan pencemaran baru di lingkungan padat penduduk.
3. *Mendesak Pemerintah Kota Bekasi* untuk melakukan *pemulihan kualitas air Kali Asem* melalui program terpadu bersama masyarakat dan lembaga independen.
4. *Meminta aparat penegak hukum lingkungan* (PPNS Lingkungan, KLHK, dan Kejaksaan) untuk menindak tegas pelaku usaha maupun pejabat yang lalai dalam pengawasan.
5. *Mendesak Wali Kota Bekasi* untuk segera *mengevaluasi dan memecat Kepala Dinas Lingkungan Hidup* beserta jajarannya jika terbukti lalai menjalankan tugas.

Dicky Armanda selaku Jendlap juga menegaskan, perjuangan ini bukan sekadar tentang air yang kotor, tetapi tentang *masa depan manusia dan keberpihakan negara kepada rakyatnya.*

“Kami tidak menuntut air yang bersih untuk hari ini, kami menuntut sistem yang bersih untuk masa depan. Kami tidak membawa bom, kami membawa konstitusi. Kami tidak melempar batu, kami melempar kesadaran,” ujarnya lantang.

Aksi berlangsung dengan damai dan penuh semangat solidaritas. Massa membawa spanduk bertuliskan. "Air Kali Asem Cerminan Kotornya Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi”, sebagai simbol kritik terhadap pemerintah yang dinilai abai terhadap penderitaan rakyat.

Di penghujung aksi, AMBK menyerukan agar pemerintah *tidak lagi menutup hidung terhadap bau busuk pencemaran, tetapi membuka mata terhadap penderitaan rakyat.*
 
Saat perwakilan demonstran hendak menyerahkan tuntutan secara resmi, mereka disambut oleh perwakilan pejabat DLH Kota Bekasi. Namun, tanggapan yang diberikan justru memancing kemarahan peserta aksi.

"Kali Asem itu dari dulu juga sudah kotor, bukan cuma karena TPST. Lagipula udara di Sumur Batu masih aman kok, buktinya warga masih bisa beraktivitas,” ujarnya santai sambil tertawa kecil.

Pernyataan ini langsung menuai kecaman dari massa aksi yang menilai tanggapan tersebut sebagai bentuk pengabaian terhadap fakta lapangan dan penderitaan warga yang telah lama terdampak.

“Ini jelas bentuk arogansi birokrasi. DLH seharusnya bekerja atas dasar data dan realitas, bukan malah melempar komentar nyeleneh seolah-olah nyawa dan kesehatan warga bisa dianggap remeh,” tegasnya dalam orasi lanjutan.

“Kalau pejabatnya masih asal ngomong dan tidak punya empati, maka tidak ada pilihan selain tekanan massa. Kami tidak akan berhenti sampai lingkungan warga kami dibersihkan dan pejabat yang abai disingkirkan,” tegas Ade Maarif Alfarizi.

Menutup aksi, AMBK menyatakan akan terus mengawal persoalan ini dan mengancam akan melakukan aksi lanjutan yang lebih besar bersama warga terdampak jika tidak ada tindak lanjut dari DLH maupun Wali Kota Bekasi dalam waktu dekat.

Komentar

© 2020 AKSARA

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.