Kalo ada musim di Aru, orang kampung takut pergi ke kebun, ladang, dusun sagu, dan hutan untuk mengambil kayu bakar, berburu, meramu, dll.
Entahlah, bahasa Aru Utara dan Aru Tengah, sebutnya apa ? Setidaknya, sebutan di atas adalah versi Aru Selatan dan Aru Selatan Timur.
Apapun bahasa lokal sebut, tidak mengurangi nilai teror dari para pelaku potong-potong ini. Konon (menurut cerita orang), mereka akan mengambil kepala manusia untuk alas suatu proyek pembangunan fisik. Misalnya jembatan, dll.
Belakangan, Saya malah berpikir lain tentang mereka.
...Isu tentang Mereka sudah digunakan oleh para pencuri hasil hutan, untuk menebarkan informasi tetor, agar warga takut ke hutan, dan para pencuri bebas beroperasi tanpa hambatan....
Jadi, sebaiknya orang kampung mengubah cara pikir dan cara pandang terhadap isu "Musim Potong-potong, Kebkebal, dan/atau Sefsefar ini.
Logika pertama:
Anda sudah pernah lihat sendiri, bahkan ikut bekerja sebagai pekerja di proyek fisik bangunan dan jembatan, mulai dari fondasi hingga peresmian.
Artinya, isu itu tidak benar. Tidak logis. Jadi, kalo ada info bahwa sudah kebkebal di hutan, pergilah ke hutan, jaga hasil hutan kalian.
Logika Kedua:
Budaya ini, tidak diketahui mulai dari mana? Tapi, sejauh penelusuran Saya dari berbagai referensi, Saya menemukan setidaknya ada 3 tempat yang memiliki budaya ini, yakni:
1). Suku Nias di Pulau Nias, Sumatera Utara
2). Suku Dayak di Kalimantan
3). Suku Bati di Pulau Seram, Maluku
4). Budaya di Pulau Saparua, Maluku Tengah
5). Para Pencuri di Aru, Maluku
Ketiganya, memiliki perbedaan latar belakang titik mulai.
1. Nias mulai budaya ini, akibat seorang anak kecil menyaksikan sendiri, di depan matanya sendiri, dia menyaksikan seluruh keluarganya dibantai (dibunuh hingga habis, hanya dirinya yang selamat).
Usai kejadian memilukan itu, dia bertekad untuk balas dendam pada semua pelaku pembunuhan tersebut, dan, dia benar-benar membuktikan niat tersebut. Dia kemudian menjadi pembunuh berdarah dingin, dan mampu balas dendam.
Dia kemudian, setiap pulang ke kampung, bawa serta kepala musuhnya, hingga musuhnya habis. Atas dasar itu, dia ditakuti, dipuja, dihormati, sebagai tokoh masyarakat (khusus dalam hal kemampuan membunuh).
Dari cara pandang masyarakat desanya terhadap dirinya, kemudian, muncul pandangan (budaya baru) bahwa: hanya jadi laki-laki utuh bila pernah mengalahkan musuh, dan bawa pulang kepala musuh sebagai bukti.
Lama kelamaan, ini menjadi budaya baru untuk orang Nias, dan setiap anak laki-laki diukur kedewasaan dan keahliannya baik, bila mampu bawa kepala musuhnya sebagai buktinya.
Budaya ini, baru berubah, Setelah datangnya para misionaris Kristen, mereka mengubah cara pandang masyarakat setempat, dengan "LOMPAT BATU" seperti foto dalam uang Indonesia yang (mungkin?) Anda pernah lihat.
Budaya lompat batu, merupakan budaya baru Orang Nias, sebagai bukti bahwa seorang anak laki-laki telah mencapai kedewasaan dan punya kemampuan khusus dan pantas diakui sebagai laki-laki yang telah dewasa. Budaya ini berlaku hingga saat ini di Pulau Nias, dengan budaya lompat batu.
2. Budaya Suku Dayak Kalimantan
Budaya Porong kepala di suku Dayak di Kalimantan, disebut NGAYAU. Kata NGAYAU (mungkin?) merupakan paduan kata MANDAU dengan kata kerja tertentu, sehingga umumnya dikenal istilah NGAYAU. Istilah ini sama dengan budaya di pulau Nias. Bunuh musuh, dan kepalanya dibawa pulang sebagai bukti keperkasaan dan kemampuan seseorang yang sudah dewasa.
Budaya ini pun, perlahan terhapus akibat masuknya para misionaris yang menyebarkan kabar baik dalam agama mereka, dan ternyata diterima baik oleh masyarakat setempat. Perlahan, budaya ini punah.
3. Orang Bati di Pulau Seram, Maluku, mengenal budaya Porong Kepala, untuk mengukur tingkat kedewasaan seorang anak remaja yang sedang menuju perubahan menuju dewasa.
Itu sebuah kewajiban, jika ingin dianggap dan diakui sebagai lelaki dewasa. Bawa bukti kepala orang. Setelah itu, barulah seorang remaja memperoleh pengakuan sebagai seorang dewasa.
Walaupun suku ini hidup terisolir peradaban umum, seiring peradaban zaman, dan masuknya agama, mampu mengubah budaya tersebut, sehingga target berubah dari berburu kepala manusia, menjadi berburu hewan.
4. Orang Saparua
Disebut Orang Saparua, karena mereka hidup di Pulau Saparua, Maluku Tengah.
Masa lalu, orang Saparua, wajib berburu kepala manusia, untuk dipajang di Rumah Adat (Baileo).
Saat ganti atap Baileo, wajib dicari kepala manusia dari kelompok musuh mereka.
Saat ini, budaya tersebut berubah. Sebagai gantinya, mereka akan cari Buah Kelapa dengan ciri khusus yang disepakati. Dimulai dengan upacara dan ritual khusus, sebelum pasukan yang diperlengkapi pergi mencari kelapa dengan ciri khusus tersebut, dan dibawa pulang untuk dipajang di Rumah Adat.
5. Para Pencuri Hasil Hutan di Kepulauan Aru, Maluku
Khusus untuk kelompok ini, tidak ada budaya potong kepala manusia lagi. Tapi mereka adalah para Pencuri Hasil Hutan dengan kemampuan khusus untuk menebarkan isu yang mampu meneror psikologi warga kampung di Aru.
Ketika orang kampung takut masuk hutan, mereka lancar melakukan aksi pencurian hasil hutan di petuanan milik orang lain.
Ditengarai, aksi mereka, diketahui juga oleh para pengusaha lokal --yang-- membeli hasil Pencurian para pencuri ini.
Dari hasil penelusuran, informasi dari masyarakat bahwa:
...Saya datang ke toko milik pengusaha itu "si-soa" ?... dan, Dia bilang:
...Kamong jangan pergi ke hutan di waktu ini, karena potong-potong sudah musim beroperasi. Mereka datang ke Saya semalam untuk memberi tahu... 😂😂😂😂 ???????!!
Jadi, ada semacam bisnis KONGSI antara para pencuri hasil hutan, dengan para pengusaha (calon penadah) dalam kasus ini.
Di sinilah, kasus ini penting untuk menjadi bahan kaji-timbang dan diharapkan sukses mengantar orang Aru, agar JANG TAKU POTONG-POTONG.
Salam 🙏
Komentar
Posting Komentar